Menurut Tri Bakdo, S.Sn (50th), Batang merupakan daerah tertua di tanah
Jawa, sebagai buktinya yaitu ditemukannya Prasasti Sojomerto di Desa Sojomerto,
Kecamatan Reban, Kabupaten Batang. Berdasarkan analisis paleografi, prasasti
tersebut berasal dari abad ke-7, peninggalan keluarga Dapunta Salendra yang
merupakan cikal-bakal raja-raja keturunan Wanga Sailendra yang berkuasa di
kerajaan Mataram Hindu. Peradaban di Batang sudah ada sejak abad ke-7, lebih
tua dari peradaban di Dieng (abad ke-8) maupun Yogyakarta (abad ke-8).
Secara administratif, Kabupaten Batang lahir pada tahun 1966, tapi sistem
pemerintahannya sudah ada sejak dulu kala. Ada pendapat bahwa pohon beringin di
alun-alun kota se-Jawa yang tertua adalah di Batang. Pohon beringin yang tumbuh
di setiap alun-alun kota tidak dengan sendirinya ada di situ, tetapi pohon
beringin tersebut sengaja ditanam sebagai simbol daerah kekuasaan raja-raja
terdahulu. Konsekuensi logis sebagai daerah tertua, Batang memiliki banyak
kesenian tradisional, diantaranya; dagelan, kuntulan, kuda lumping, kuda
kepang, barongan, tari babalo, tari lengger, dan sintren.
Sintren sebagai kesenian rakyat Batang yang kelahirannya dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah lokal,
telah mengalami perjalanan yang panjang. Hadisastro (1998), menyatakan bahwa
pada masa lalu sintren merupakan salah satu dari sedikit kesenian rakyat yang sangat
digemari di wilayah Kabupaten Batang. Terbukti dengan adanya banyak kelompok kesenian tersebut di berbagai
kecamatan yang peninggalannya masih dapat dirunut dari cerita tutur anggota
masyarakat.
“Rame-ramene,
yo tahun 72nan. Eh urung tahun 72 ndek, aku isik cilik kok. Berarti golongan
hmm, 65 kan PKI brontak o… sakdurunge 65 we wis rame, koyone golongan 59. Aku
nonton sintren nang kono we (lapangan dracik) malah siwutku dadi panjak,
sebehku dadi panjak sing nyanyi-nyanyi kae si, kae we nyong isik cilik… terus
sepi kan brontak ono G30S…. ramene maneh yo tahun 70an, 71, 72nan” (Amat Sudiro, 70
tahun, pedagang, 17 Januari 2015).
Ramai-ramainya,
ya tahun 72-an. Eh belum tahun 72 malah, saya masih kecil kok. Berarti sekitar
hmm, 65 kan PKI pemberontakan ya… sebelum 65 itu sudah ramai, kira-kira sekitar
59. Saya nonton sintren di sana itu (lapangan Dracik, Proyonangan Selatan
Batang) malah ibuku jadi panjak, ayahku
jadi panjak, yang nyanyi-nyai itu si.
Itukan saya masih kecil… terus sepi kan pemberontakan ada G30S…. ramainya lagi
ya tahun 70-an, 71, 72-an (Amat Sudiro, 70 tahun, pedagang, 17 Januari 2015).
Sintren
sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan rakyat di Batang, pernah menjadi suatu
seni hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat pada sekitar tahun 1959-an.
Dalam perkembangnya, seni pertunjukan sintren mengalami keterpurukan akibat
peristiwa G 30 S PKI yang terjadi pada tahun 1965. Menurut Triratnawati (2012: 42),
pada masa itu melemahnya kesenian sintren juga disebabkan oleh situasi politik
yang mencengangkan kedaulatan rakyat sampai dengan awal tahun 1966. Seni
pertunjukan sintren dicap sebagai ‘racun yang melemahkan semangat revolusioner
rakyat’. Perkembangan selanjutnya, sintren meraih kejayaan kembali pada tahun
1970-an.
“Kalau dulu usum
sintren itu nek mangsane panen. Kalau dulu jaman Pak Harto itu panen setahun
tiga kali. Dulu kan ketahanan pangan, jadi parine kudu iki (sejenis). La itu
kalau panen sintren ada di mana-mana, ramai itu, tahun-tahun 70an” (Tri Bakdo, 50
tahun, Ketua DKD, 17 Januari 2015).
Kalau dulu ramai sintren itu kalau
musimnya panen. Kalau dulu jaman Pak Harto itu panen setahun tiga kali. Dulu
kan ketahanan pangan, jadi padinya harus ini (sejenis). La itu kalau panen
sintren ada di mana-mana, ramai itu, tahun-tahun 70-an (Tri Bakdo, 50
tahun, Ketua DKD, 17 Januari 2015).
Tahun
1970-an, biasanya sintren diselenggarakan dalam rangka mensyukuri nikmat yang
telah diberikan oleh Tuhan. Misalnya masyarakat pertanian, sebagai ungkapan
syukur bahwa panennya melimpah, masyarakat mengadakan suatu atraksi pentas
sintren. Pada masa itu, sintren bukan sekedar hiburan untuk masyarakat, tapi
juga salah satu media komunikasi antara manusia dengan manusia dan manusia
dengan Sang Maha Pencipta. Di sisi lain, semangat yang mendorong masyarakat mengadakan sintren adalah semangat
menciptakan kegembiraan bersama.
Menurut
Tri Bakdo, S.Sn (50th), pada tahun 1970-an, hampir setiap kampung di kabupaten
Batang ada kesenian sintren. Kondisi demikian menciptakan iklim kompetitif yang
tercipta dari masyarakat itu sendiri. Ada suatu kampung yang dianggap sintrennya
lebih bagus dan selalu dikunjungi oleh penonton dari berbagai kampung lainnya.
Bagi kampung yang sintrennya tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas
perlahan menghilang.
Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1980-an, ketika
listrik mulai masuk desa, TV, bioskop sudah ada di Kabupaten Batang, sintren
menjadi hiburan yang tersisihkan. Dalam Hadisastro (1998), ditegaskan bahwa Bedjo Sutrisno (pemerhati tari
tradisional tinggal di Batang), pernah
mengumpulkan data tahun 1980 tentang keberadaan
sintren. Lebih dari 15 kelompok kesenian sintren di seluruh wilayah
Kabupaten Batang. Kurangnya kesempatan untuk pentas, keberadaan kelompok sintren makin
lama makin hilang tersisihkan oleh kemajuan seni modern.
Menanggapi persolan tersebut, Dewan Kesenian Daerah
(DKD) Kabupaten Batang bersama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Batang merencanakan program-program trobosan sebagai upaya menjaga eksistensi
kesenian rakyat, termasuk kesenian sintren. Pada tahun 1995, pemerintah daerah
mulai memperhatikan keberadaan kesenian rakyat, yaitu dengan cara memantau dan
memberikan dana pembinaan pada kelompok-kelompok kesenian rakyat yang ada di
Kabupaten Batang. Hal ini diakui oleh Tri Bakdo, S.Sn (50th) selaku ketua DKD
Kabupaten Batang.
“Sejak tahun 95-an mulai mengalakan
nguri-uri. Kemudian Dewan Kesenian memberikan masukan pada pemerintah daerah
bahwa seni-seni seperti itu harus dipelihara. Akhirnya dianggarkan untuk
kesenian-kesenian tersebut” (wawancara, 17 Januari 2015).
Perkembangan
selanjutnya sampai tahun ini (2015), pemerintah daerah tidak hanya memberikan
insentif pembinaan, tapi juga memberikan fasilitas lain, berupa tempat atau
media pementasan. Salah satunya yaitu memberikan tempat berekpresi bagi
kesenian tradisional dalam berbagai kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang
melibatkan banyak orang. Sintren biasanya dipentaskan pada malam Jumat Kliwon
(acara Kliwonan di Alun-alun Batang),
peringatan HUT RI, peringatan HUT Kabupaten Batang, dan Batang Expo.
Tahun 2015, grup kesenian sintren yang tercatat
masih aktif di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupeten Batang ada tiga
kelompok, diantaranya; 1) Kelompok Kesenian Sintren Jaya Mulya Kelurahan
Sambong, Kecamatan Batang, 2) Paguyuban Kesenian Tradisional Sintren Trubus
Budoyo Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman dan 3) Paguyuban Kesenian Tradisional
Sintren Kumar Budoyo Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar