Senin, 01 Juni 2015

Perkembangan Sintren di Batang


Menurut Tri Bakdo, S.Sn (50th), Batang merupakan daerah tertua di tanah Jawa, sebagai buktinya yaitu ditemukannya Prasasti Sojomerto di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang. Berdasarkan analisis paleografi, prasasti tersebut berasal dari abad ke-7, peninggalan keluarga Dapunta Salendra yang merupakan cikal-bakal raja-raja keturunan Wanga Sailendra yang berkuasa di kerajaan Mataram Hindu. Peradaban di Batang sudah ada sejak abad ke-7, lebih tua dari peradaban di Dieng (abad ke-8) maupun Yogyakarta (abad ke-8).
Secara administratif, Kabupaten Batang lahir pada tahun 1966, tapi sistem pemerintahannya sudah ada sejak dulu kala. Ada pendapat bahwa pohon beringin di alun-alun kota se-Jawa yang tertua adalah di Batang. Pohon beringin yang tumbuh di setiap alun-alun kota tidak dengan sendirinya ada di situ, tetapi pohon beringin tersebut sengaja ditanam sebagai simbol daerah kekuasaan raja-raja terdahulu. Konsekuensi logis sebagai daerah tertua, Batang memiliki banyak kesenian tradisional, diantaranya; dagelan, kuntulan, kuda lumping, kuda kepang, barongan, tari babalo, tari lengger, dan sintren.
Sintren sebagai kesenian rakyat Batang yang kelahirannya dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah lokal, telah mengalami perjalanan yang panjang. Hadisastro (1998), menyatakan bahwa pada masa lalu sintren merupakan salah satu dari sedikit kesenian rakyat yang sangat digemari di wilayah Kabupaten Batang. Terbukti dengan adanya banyak kelompok kesenian tersebut di berbagai kecamatan yang peninggalannya masih dapat dirunut dari cerita tutur anggota masyarakat.
 “Rame-ramene, yo tahun 72nan. Eh urung tahun 72 ndek, aku isik cilik kok. Berarti golongan hmm, 65 kan PKI brontak o… sakdurunge 65 we wis rame, koyone golongan 59. Aku nonton sintren nang kono we (lapangan dracik) malah siwutku dadi panjak, sebehku dadi panjak sing nyanyi-nyanyi kae si, kae we nyong isik cilik… terus sepi kan brontak ono G30S…. ramene maneh yo tahun 70an, 71, 72nan” (Amat Sudiro, 70 tahun, pedagang, 17 Januari 2015).

Ramai-ramainya, ya tahun 72-an. Eh belum tahun 72 malah, saya masih kecil kok. Berarti sekitar hmm, 65 kan PKI pemberontakan ya… sebelum 65 itu sudah ramai, kira-kira sekitar 59. Saya nonton sintren di sana itu (lapangan Dracik, Proyonangan Selatan Batang) malah ibuku jadi panjak, ayahku jadi panjak, yang nyanyi-nyai itu si. Itukan saya masih kecil… terus sepi kan pemberontakan ada G30S…. ramainya lagi ya tahun 70-an, 71, 72-an (Amat Sudiro, 70 tahun, pedagang, 17 Januari 2015).

Sintren sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan rakyat di Batang, pernah menjadi suatu seni hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat pada sekitar tahun 1959-an. Dalam perkembangnya, seni pertunjukan sintren mengalami keterpurukan akibat peristiwa G 30 S PKI yang terjadi pada tahun 1965. Menurut Triratnawati (2012: 42), pada masa itu melemahnya kesenian sintren juga disebabkan oleh situasi politik yang mencengangkan kedaulatan rakyat sampai dengan awal tahun 1966. Seni pertunjukan sintren dicap sebagai ‘racun yang melemahkan semangat revolusioner rakyat’. Perkembangan selanjutnya, sintren meraih kejayaan kembali pada tahun 1970-an.
“Kalau dulu usum sintren itu nek mangsane panen. Kalau dulu jaman Pak Harto itu panen setahun tiga kali. Dulu kan ketahanan pangan, jadi parine kudu iki (sejenis). La itu kalau panen sintren ada di mana-mana, ramai itu, tahun-tahun 70an” (Tri Bakdo, 50 tahun, Ketua DKD, 17 Januari 2015).

Kalau dulu ramai sintren itu kalau musimnya panen. Kalau dulu jaman Pak Harto itu panen setahun tiga kali. Dulu kan ketahanan pangan, jadi padinya harus ini (sejenis). La itu kalau panen sintren ada di mana-mana, ramai itu, tahun-tahun 70-an (Tri Bakdo, 50 tahun, Ketua DKD, 17 Januari 2015).

Tahun 1970-an, biasanya sintren diselenggarakan dalam rangka mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Misalnya masyarakat pertanian, sebagai ungkapan syukur bahwa panennya melimpah, masyarakat mengadakan suatu atraksi pentas sintren. Pada masa itu, sintren bukan sekedar hiburan untuk masyarakat, tapi juga salah satu media komunikasi antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Sang Maha Pencipta. Di sisi lain, semangat yang mendorong masyarakat mengadakan sintren adalah semangat menciptakan kegembiraan bersama.
Menurut Tri Bakdo, S.Sn (50th), pada tahun 1970-an, hampir setiap kampung di kabupaten Batang ada kesenian sintren. Kondisi demikian menciptakan iklim kompetitif yang tercipta dari masyarakat itu sendiri. Ada suatu kampung yang dianggap sintrennya lebih bagus dan selalu dikunjungi oleh penonton dari berbagai kampung lainnya. Bagi kampung yang sintrennya tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas perlahan menghilang.
 Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1980-an, ketika listrik mulai masuk desa, TV, bioskop sudah ada di Kabupaten Batang, sintren menjadi hiburan yang tersisihkan. Dalam Hadisastro (1998), ditegaskan bahwa Bedjo Sutrisno (pemerhati tari tradisional tinggal di Batang), pernah mengumpulkan data tahun 1980 tentang keberadaan sintren. Lebih dari 15 kelompok kesenian sintren di seluruh wilayah Kabupaten Batang. Kurangnya kesempatan untuk pentas, keberadaan kelompok sintren makin lama makin hilang tersisihkan oleh kemajuan seni modern.
Menanggapi persolan tersebut, Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Batang bersama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Batang merencanakan program-program trobosan sebagai upaya menjaga eksistensi kesenian rakyat, termasuk kesenian sintren. Pada tahun 1995, pemerintah daerah mulai memperhatikan keberadaan kesenian rakyat, yaitu dengan cara memantau dan memberikan dana pembinaan pada kelompok-kelompok kesenian rakyat yang ada di Kabupaten Batang. Hal ini diakui oleh Tri Bakdo, S.Sn (50th) selaku ketua DKD Kabupaten Batang.
Sejak tahun 95-an mulai mengalakan nguri-uri. Kemudian Dewan Kesenian memberikan masukan pada pemerintah daerah bahwa seni-seni seperti itu harus dipelihara. Akhirnya dianggarkan untuk kesenian-kesenian tersebut” (wawancara, 17 Januari 2015).

 Perkembangan selanjutnya sampai tahun ini (2015), pemerintah daerah tidak hanya memberikan insentif pembinaan, tapi juga memberikan fasilitas lain, berupa tempat atau media pementasan. Salah satunya yaitu memberikan tempat berekpresi bagi kesenian tradisional dalam berbagai kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang melibatkan banyak orang. Sintren biasanya dipentaskan pada malam Jumat Kliwon (acara Kliwonan di Alun-alun Batang), peringatan HUT RI, peringatan HUT Kabupaten Batang, dan Batang Expo.

Tahun 2015, grup kesenian sintren yang tercatat masih aktif di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupeten Batang ada tiga kelompok, diantaranya; 1) Kelompok Kesenian Sintren Jaya Mulya Kelurahan Sambong, Kecamatan Batang, 2) Paguyuban Kesenian Tradisional Sintren Trubus Budoyo Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman dan 3) Paguyuban Kesenian Tradisional Sintren Kumar Budoyo Desa Tegalsari, Kecamatan Kandeman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar