Asal-usul kesenian
sintren berkaitan erat dengan daerah persebaran kesenian tersebut. Sintren
berkembang di daerah pesisir utara Jawa (Pantura). Di Jawa Barat sintren ada di
beberapa kabupaten, meliputi: Kabupaten Indramayu, Kabupaten Kuningan,
Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Cirebon. Di Jawa Tengah sintren berada di
berbagai daerah, antara lain: Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kabupaten
Pemalang, Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, dan Kabupaten
Kendal. Menurut Pak Kumar (34th), Mbah
Suro (63th), dan Pak Priyanto (37th), asal mula kesenian sintren adalah dari
Cirebon. Sintren adalah kesenian rakyat, sehingga masing-masing daerah punya
versi sendiri terkait asal-usul sintren.
Di Batang, sintren yang
berkembang di masyarakat pada umumnya dibangun atas cerita rakyat yang hidup di
dalam masyarakatnya. Dari mulut ke mulut asal-usul sintren dituturkan oleh
generasi terdahulu kepada genarasi berikutnya. Menurut Mbah Suro (63th), memang sampai saat ini asal-usul sintren tidak
dapat diketahui secara pasti. Ketidakpastian asal-usul sintren dikarenakan
tidak adanya buku ataupun catatan sejarah yang dapat dijadikan sebagai patokan.
Ada sedikitnya dua
versi cerita rakyat yang melatarbelakangi kemunculan sintren. Pertama, sintren
dibangun atas kisah cinta Bahureksa dengan Rantansari yang mendapat
pertentangan dari Sultan Agung. Rantasari adalah seorang putri yang berasal
dari Desa Kalisalak.
Gambar Belik Rantansari di
Desa Kalisalak, Kec. Batang, Kab. Batang
(Sember: Dok. Penulis 2 Januari 2015)
Bahureksa adalah seorang prajurit Mataram yang mendapatkan tugas dari
Sultan Agung Hanyakrakusuma, memboyong Rantansari ke Mataram untuk dipersunting
Sultan Agung. Setelah Bahureksa bertemu dengan Rantansari, ternyata Bahureksa
berubah pikiran. Bahureksa justru jatuh cinta kepada Rantansari dan berniat
mempersuntingnya. Bahureksa dan Rantansari saling jatuh cinta dan memadu kasih.
Bahureksa berupaya
mengelabuhi Sultan Agung dengan memboyong Endang Wiranti (gadis yang mirip
dengan Rantansari) ke Mataram. Setelah dipersinggahkan di kursi ratu, Endang Wiranti
gemetaran dan pinsan. Ketika Sadar Edang Wiranti mengaku bahwa dirinya bukanlah
Rantansari. Sultan Agung mengetahui hubungan cinta antara Bahureksa dan
Rantansari, sebagai upaya memisahkan hubungan keduanya, Bahureksa diperintahkan
membuka Alas Gambiran dan memimpin serangan Mataram melawan VOC ke Batavia.
Bahureksa melaksanakan titah Raja berangkat ke Batavia
dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan
Rantansari, Bahureksa memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Suatu ketika
Bahureksa dikabarkan gugur dalam peperangan. Rantansari mencari jejak gugurnya
di sepanjang pantai utara Jawa dengan menyamar menjadi penari yang bernama
Sulasih. Rantansari
dapat bertemu Bahureksa yang sebenarnya masih hidup dengan bantuan sapu tangan
pemberian Bahureksa.
Kegagalan Bahureksa menyerang Batavia dan pasukannya banyak
yang gugur, menyebabkan Bahureksa tidak berani kembali ke Mataram, melainkan
pulang ke Pekalongan bersama Rantansari dengan maksud melanjutkan pertapaannya
untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu.
Sejak itu Rantansari dapat hidup bersama dengan Bahureksa hingga akhir
hayatnya.
Versi kedua, yaitu
kesenian sintren dibangun atas dasar kisah cinta Sulasih dan Sulandono.
Sulandono dikisahkan sebagai anak dari hasil perkawinan Bahureksa dan
Rantansari yang sedang memadu kasih dengan Sulasih. Hubungan cinta antara
Sulandono dan Sulasih tidak mendapatkan restu dari Bahureksa. Sulandono
diperintahkan ibunya pergi bertapa dan meninggalkan sapu tangan pada Sulasih
sebagai tanda cintanya.
Pertemuan antara
Sulandono dan Sulasih masih tetap berlangsung di alam gaib dengan bantuan
Rantansari. Pada saat Sulasih menjadi penari dalam pertunjukan rakyat, Rantansari
memasukkan roh/bidadari ketubuhnya, sehingga Sulasih mengalami kesurupan (trance). Pada saat itulah roh Sulandono
yang masih bertapa dipanggil untuk menemui roh Sulasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar